Seorang anak berbaju kumuh,
duduk di barisan depan.
Menatap wanita tengah baya.
Memperhatikan setiap kata.
Terkadang cerita membuatnya tertawa.
Terkadang pula ia harus menggaruk kepala.
Seorang bocah duduk,
bersepatu lebih kecil dari ukuran kaki.
Terus menatap persegi panjang,
yang terpampang di dinding depan.
Tak mau kehilangan ilmu,
walau hanya seteguk
Pagi dia berangkat dengan buku
dan tinta hitam.
Berbajukan putih, bercelanakan merah.
Tak lupa tas kesayangan ia tenteng
Walau hanya terbuatkan dari plastik
Siang hari ia tak kunjung pulang
Mencari receh tuk penuhi kebutuhan
Terkadang ia senang melihat selembar uang
Terkadang pula ia harus menahan rasa sakit karna caci maki.
Bukan tak punya malu,
Tapi keadaan t'lah memaksa.
Kaleng kecil dan tepukan tangan,
ia jadikan jurus andalan
Bernyanyi sambil menatap penuh harap
Semoga ada yang mengasihi
Senja menyapa adalah bel pulang
Tiba saatnya untuk menyantap makan malam
Namun terkadang...
Ia hanya menjumpai perabotan dalam keadaan bersih.
Terkadang ia mengocek receh dari celengan,
yang seharusnya untuk hari esok.
Terkadang pula ia harus puasa,
dari pagi hingga esok pagi.
Seusai isya,
ia kembali menatap buku pelajaran.
Mencoba memahami setiap coretan,
yang terkadang membuatnya berkunang-kunang
Terkadang pula ia harus begadang
Esok pagi ia kembali menjejakkan kaki
Memberikan salam hangat pada sang mentari
Tergores senyuman di bibir keringnya.
Sebagai tanda semangat dalam jiwa.
Kembali ia laksanakan aktivitas,
layaknya hari kemarin
Begitulah coretan Dika,
dalam diary lusuhnya.
Namun tak pernah ia mengeluh
Ataupun berputus asa.
By: Nurahmadi M. H.
Kediri, 18 oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar